Purbalingga - Alvita Labiibah Machsus, seorang mahasiswi program studi Farmasi di salah satu Perguruan Tinggi yang ada di Kota Bandung dimasa pandemi Covid-19 ini terpaksa harus pulang kampung halamannya, menjalani kuliah Daring dari rumah di Kelurahan Bancar, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga.
Hal ini dia laksanakan karena tentunya akan lebih menghemat ongkos kebutuhan hidup bila pulang kampung saat melaksanakan kuliah Daring dari rumahnya.
Al (18), sapaan akrabnya, berbekal dasar ilmu yang diperoleh baik dari bangku sekolah maupun didapat dari hasil literasi dan referensi lainnya turut berupaya menyikapi keterpurukkan khususnya sektor ekonomi yang ada saat ini karena adanya pandemi Covid-19 dengan berbagai upaya.
Selepas menjalankan kewajiban kuliah Daring, Al terus berupaya melihat berbagai peluang yang bisa dia upayakan untuk menambah pemasukan ekonomi keluarga dan dirinya.
Dia terus berupaya memutar otak, salah satunya di bidang pertanian agar waktu luangnya selepas kuliah Daring bermanfaat sekaligus dapat menghasilkan keuntungan dia mulai aktif membaca peluang yang ada.
Dia mengatakan, saya harus pulang kampung agar lebih hemat karena adanya kebijakan kuliah daring di tengah pandemi Covid-19. Saat di kampung, selain mengikuti jadwal kuliah daring saya juga melatih jiwa entrepreneur dengan membuka online shop dan memanfaatkan waktu luang yang ada dengan bertani.
Mengalami kondisi ini, Al berinisiatif mengajak orang tuanya untuk menanam jahe merah dan bebarapa tanaman buah seperti jambu kristal maupun alpukat. Menurut Al, menanam jahe merah dan tanaman buah lainnya diperlukan ketelatenan. Ia melakukan itu semua bersama keluarga dibantu pekerja.
"Awalnya hanya ingin praktik dan mencoba memanfaatkan lahan yang ada Sekitar 2 Hektar, kita kerjakan dengan dibantu pekerja dari penyiapan lahan yang memang penuh rumput ilalang, semak belukar karena sudah lama tidak digarap. Saat ini sudah ada sekitar 6 ribuaan tanaman jahe merah dan 300 tanaman buah. Jahe merah yang telah kami tanam dari bibit rimpang maupun bibit tanaman jahe merah yang sudah tumbuh, " ungkap dia yang juga seorang aktivis kampus saat dikonfirmasi, (24/1/2020).
Dia menerangkan, sarana yang digunakan selain memanfaatkan lahan yang ada setelah dibersihkan, yakni diberi kotoran hewan ternak seperti kambing, sapi, dan lainnya.
Dia menyebutkan, bibit yang didapatkan membeli dari pekerja kebunnya di luar daerah Purbalingga, yakni dari Desa Klapa, Kecamatan Punggelan, Kabupaten Banjarnegara.
Al berencana akan mengembangkan terus budidaya tanaman jahe merah ini. Pada tahap awal ini, dia telah menanam 6 ribuan pohon.
Selanjutnya, apabila sudah paham tata cara kelola, penanaman, perawatan, dan penjualannya, maka akan lebih baik lagi jika dikembangkan di lahan lain yang belum dimanfaatkan.
"Jika dalam 10 bulan atau sekitar 1 tahun masa panen berhasil dengan baik, kami berencana akan mengembangkan budidaya tanaman jahe merah ini di lahan lainnya, " tutur Al.
"Saya pikir hal ini akan jadi peluang yang baik, sehingga harapannya prospek ke depan pasar jahe merah saya pikir sangat bagus, " lanjut Al.
Lebih lanjut, Al menuturkan, bibit jahe merah yang mereka tanam itu harga belinya waktu itu cukup mahal yakni Rp 45 ribu hingga Rp 60 ribuan bahkan sekarang langka di pasaran.
"Di Purbalingga, untuk mendapatkan 50 kg jahe merah saja sudah sangat langka kalaupun ada di pasar harganya sudah mahal, " tutur Al memungkasi.
(Ratna P)