Cara Etnis Tionghoa Menghormati Leluhur di Alam Baka dengan Bakar Uang

    Cara Etnis Tionghoa Menghormati Leluhur di Alam Baka dengan Bakar Uang
    Salah Seorang Kerabat Keluarga Oey sedang melipat uang replika, Minggu (29/11)

    TEGAL - Mungkin idiom merayakan Imlek ataupun istilah Cap Go Meh, atau memberi angpao, pastinya sudah menjadi tradisi yang tidak asing lagi dikalangan masyarakat Indonesia. Tapi bagaimana dengan tradisi membakar uang? Ya, belum tentu semua orang mengetahui.

    Meski tak terdengar familiar, tradisi membakar uang bukanlah hal yang janggal bagi masyarakat keturunan Tionghoa, baik di Indonesia maupun di negara-negara lainnya. Tradisi membakar uang sudah menjadi ritual yang dilakukan secara turun-temurun selama ribuan tahun.

    "Prinsipnya merefleksikan berbakti pada orang tua atau leluhur. Semua itu adalah bentuk doa yang bersuasana makmur, " Ungkap Ade Gunawan atau Kwee Hong Koen pada jateng.indonesiasatu.co.id, Minggu (29/11).

    Kwee Hong Koen yang saat ini duduk sebagai Pengawas di Yayasan Tri Dharma Tegal menyebutkan bahwa meski pemahaman istilah ritual itu luas, namun penggunaan kata ritual setidaknya mempermudah pesan yang disampaikan ke masyarakat.

    "Pemahaman ritual tadi luas cuma yang mudah diartikan ya itu cukup, " Ujar Kwee Hong Koen.

    Tradisi membakar uang diadakan hampir di setiap hari besar dan juga acara pemakaman. Uang yang digunakan juga bukan uang asli yang biasa digunakan untuk bertransaksi di kehidupan sehari-hari. 

    Ritual membakar uang menggunakan uang replika atau yang dikenal sebagai uang arwah atau uang hantu. Ritual membakar uang hantu diyakini berasal dari tradisi yang tercipta sekitar 2.500 tahun lalu. 

    Menurut catatan sejarah, ritual membakar uang arwah pertama kali dilakukan pada zaman Dinasti Jin (265-420). Sejak saat itu, ritual membakar uang menjadi tradisi umum di zaman kekaisaran selanjutnya, seperti Dinasti Tang dan Dinasti Song. 

    Tradisi ini merupakan campuran dari Taoisme, Buddha, dan cerita rakyat daerah. Konon, membakar uang kertas dapat memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang telah meninggal di akhirat. 

    Ibadah doa dengan cara membakar uang paling sering ditemukan pada awal April yang dikenal sebagai Festival Qingming. Dalam merayakan Festival Qingming, orang-orang keturunan Tionghoa akan mengunjungi makam leluhur mereka, membersihkannya, dan membakar uang kertas sebagai persembahan. 

    Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa, uang bisa memberikan kebahagiaan bahkan di akhirat. Sehingga dengan membakar uang replika saat pemakaman, mereka bisa memastikan bahwa leluhurnya memiliki banyak uang di dunia setelah kematian. 

    Jadi, anggota keluarga yang masih hidup tak perlu cemas memikirkan kehidupan anggota keluarganya yang telah meninggal. Karena jiwa-jiwa yang telah meninggal itu punya uang untuk membeli barang dan kebutuhan mereka, agar dapat merasa nyaman di alam baka.

    Hal itu pula yamg dilakukan keluarga Michael Oey yang tinggal di Kota Tegal. Meski dirinya seorang pengusaha kuliner, namun disela kesibukannya tak lupa beribadah dengan melipat kertas untuk dijadikan uang replika.

    ^ Dalam kesibukan bagaimanapun, kita tetap menyempatkan beribadah, " Ujar Kurniawan Hartanto yang punya trah Tan, salah seorang kerabat Michael Oey menjelaskan pada jateng.indonesiasatu.co.id, Minggu (29/11) ditempat kuliner dengan nama Oishii yang terletak di lantai 3, Pasific Mall, Kota Tegal. Sebuah kuliner dengan sajian menu makanan ala Korea.

    Ibadah melipat uang replika juga dilakukan seorang Pengusaha besar seperti Aang Gunawan, Direktur PT. Sinar Permai seorang keturunan Tionghoa asli Tegal, meski intensitas kesibukannya begitu tinggi, namun dirinya tetap menyempatkan melakukan ibadah pelipatan uang replika yang nantinya akan dibakar.

    Membakar uang arwah juga merupakan bentuk pemujaan terhadap para leluhur, yang mana leluhur memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kekayaan atau nasib anggota keluarganya yang masih hidup. 

    Apa cuma sampai situ saja? Enggak juga. Lebih dalam lagi, tradisi membakar uang arwah mewujudkan keikhlasan anggota keluarga untuk menghormati leluhur dengan memaafkan kesalahan yang pernah dibuat semasa hidup. 

    Memberikan kehangatan bagi setiap keluarga untuk mengenang leluhur maupun anggota keluarga yang telah tiada. Dan barang yang dibakar menjadi representasi pembersihan bagi segala hal duniawi. 

    Dulunya, uang arwah terbuat dari kertas bambu yang kasar atau kertas merang. Kertas itu dipotong persegi panjang dan didekorasi menggunakan cap atau motif lainnya, tergantung daerah penghasilnya. 

    Ada tiga jenis uang arwah yang biasa digunakan dalam ritual pembakaran. Pertama adalah uang tunai biasa atau yang dikenal pula sebagai uang tembaga. Uang ini dibakar sebagai persembahan bagi orang-orang yang baru meninggal atau roh-roh yang tak diketahui asalnya. 

    Lalu jenis kedua adalah uang perak, yakni uang yang dipersembahkan untuk arwah leluhur dan dewa lokal. Jenis terakhir adalah uang emas yang dipersembahkan bagi dewa-dewi yang berada di langit, salah satunya adalah Kaisar Giok.

    Ritual membakar uang tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Jika melakukannya dengan cara yang salah, maka kabarnya, arwah yang ada di sekitarnya akan kebingungan. 

    Untuk membedakan uang arwah dengan yang sungguhan, biasanya pelayat akan melipat uang tersebut. Di beberapa kasus tertentu, anggota keluarga biasanya tak cuma membakar uang palsu saja. Tetapi juga rumah, mobil, cek bank dengan nominal tertentu, dan berbagai benda elektronik lainnya, yang berbentuk replika dari kertas.

    Lantas, mengapa mesti dibakar? Dalam perspektif agama Buddha, kosmos Buddha terbagi dalam tiga alam yang masing-masing terdiri dari sejumlah alam kecil yang bila ditotal mencapi 31 alam. 

    Ketiga alam tersebut, yaitu alam indria, alam bermateri halus, dan alam tanpa materi. Keberadaan dewa api lah yang dianggap menjadi penghubung antara ketiga alam itu. 

    Tradisi bakar uang masih dilaksanakan hingga kini, di berbagai negara, di berbagai daerah. Biasanya hal itu ditemukannyanya di acara-acara besar etnis Tionghoa. 

    Namun, di beberapa negara seperti Singapura, Taiwan, dan Hong Kong yang memiliki banyak masyarakat keturunan Tionghoa khususnya yang memeluk Buddha, tradisi ini biasanya dipusatkan di tempat peribadatan seperti klenteng. (Anis Yahya / dari berbagai sumber)

    TEGAL JATENG
    Anis Yahya

    Anis Yahya

    Artikel Sebelumnya

    Taman Pancasila Kota Tegal Mendekati Rampung,...

    Artikel Berikutnya

    Penghuni Rusunawa Kota Tegal Layangkan Surat,...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Desa Tulung Klaten Gelar Upacara Penutupan Karya Bakti Mandiri Klaten Bersinar (KBMKB) Ke-XXVI
    Arahan Dari Kepala Biro BMN Pengadaan Pra Dipa, Rutan Kudus Ikuti Secara Virtual
    Rutan Kudus Ikuti Arahan Kepala Biro BMN Dalam Pengadaan Pra DIPA Anggaran 2025 Secara Virtual
    Pertama Kali WBP Lapas Purwokerto Bedah Buku Kepemimpinan dalam Ragam Budaya
    Monitoring Renovasi Dapur Lapas Semarang, M Hilal: Tetap Utamakan Kebersihan dan Gizi Makanan

    Ikuti Kami